BIOGEOGRAFI
Pada dinding di sebuah gang di Kota Ternate ada goresan grafiti bertuliskan “A.R. Wallace – ilmuwan Ternate kelahiran Inggris.” Begitu tingginya rasa memiliki masyarakat setempat terhadap Wallace sehingga mengakuinya sebagai ilmuwan warga Ternate. Namun, sejauh mana keakraban orang Indonesia kepada Wallace, mengingat buku bacaan dan publikasi menyangkut kisah perjalanan kehidupan keilmuan Wallace sangat terbatas?
Alfred Russel Wallace (1823 – 1913), naturalis Inggris menjelajahi Kepulauan Indonesia – umumnya dengan berjalan kaki dan berperahu – selama 8 tahun (1854 – 1862) berturut-turut dari Semenanjung Malaka dan Singapura (1854); Kalimantan utara (1855-1856); Bali, Lombok dan Sulawesi (1856 ); Kepulauan Kei dan Kepulauan Aru, Sulawesi, Banda (1857); Ternate, Ambon, Papua dan Bacan (1858); Seram, Timor, Ternate dan Jailolo (Halmahera) (1859); Seram, Gorong, Ternate, Matabela, Waigeo (1860); Makassar, Timor, Seram, Banda, Buru, Jawa, Sumatra (1861); Singapura sebelum kembali ke London (1862).
Salah satu buku bacaan yang memuat informasi hasil penjelajahan Wallace di Kepulauan Indonesia adalah The Malay Archipelago, terbit pada tahun 1869. Inilah satu-satunya buku karya Wallace yang diterbitkan di Indonesia, diterjemahkan menjadi “Menjelajah Nusantara” (2000) dan “Kepulauan Nusantara” (2009) oleh penerbit yang berbeda. Setidaknya ada dua hal paling menonjol yang mengingatkan dunia akan kejeniusan Wallace, yaitu gagasannya tentang teori evolusi berdasarkan seleksi alam; dan temuan garis hipotetik yang memisahkan kumpulan fauna di bagian barat Kepulauan Indonesia dengan yang di bagian timurnya.
Garis Wallace hingga Garis Weber
Teori evolusi yang diusulkan Weber sudah seringkali diperbincangkan bahkan sampai kepada kronologi cerita dibalik temuan teori itu. Teori evolusi berdasarkan seleksi alam memberi pesan: individu yang sehat, kuat dan cerdik dalam beradaptasi dengan alamlah yang sukses mempertahankan hidup ( the fittest would survive). Ketika ia menetap di Ternate (1858), gagasan kunci Wallace mengenai teori evolusi ini ditulisnya dan diposkan kepada Charles Darwin (1809 – 1882) berupa esai yang kemudian dikenal dengan “Surat dari Ternate.”
Teori evolusi yang diusulkan Weber sudah seringkali diperbincangkan bahkan sampai kepada kronologi cerita dibalik temuan teori itu. Teori evolusi berdasarkan seleksi alam memberi pesan: individu yang sehat, kuat dan cerdik dalam beradaptasi dengan alamlah yang sukses mempertahankan hidup ( the fittest would survive). Ketika ia menetap di Ternate (1858), gagasan kunci Wallace mengenai teori evolusi ini ditulisnya dan diposkan kepada Charles Darwin (1809 – 1882) berupa esai yang kemudian dikenal dengan “Surat dari Ternate.”
Ide akbar Wallace ini bersamaan dengan persoalan evolusi yang juga dipikirkan Darwin. Maka, esai Wallace menjadi ilham bagi Darwin dan pada tahun 1859 Darwin menuangkan perihal teori evolusi ke dalam bukunya, “On the Origin of Species” (Asal-usul
Species). Ketika Darwin mendapat kehormatan atas karyanya dalam teori evolusi, Wallace masih berada di hutan-hutan di Kepulauan Indonesia, dan sampai beberapa puluh tahun berikutnya nama Wallace berada di bawah bayang-bayang popularitas Darwin.
Species). Ketika Darwin mendapat kehormatan atas karyanya dalam teori evolusi, Wallace masih berada di hutan-hutan di Kepulauan Indonesia, dan sampai beberapa puluh tahun berikutnya nama Wallace berada di bawah bayang-bayang popularitas Darwin.
Pengamatan mata rantai asal-usul spesies dan hewan endemik yang ditemuinya juga tidak lepas dari gagasanya mengelompokkan fauna Indonesia dengan garis demarkasi yang tegas. Garis hipotetik yang diciptakan Wallace tahun 1859 memotong Kepulauan Indonesia dari utara ke selatan di antara pulau Kalimantan dan Sulawesi dan di antara pulau Bali dan Lombok, kemudian dikenal sebagai Garis Wallace. Sub-judul buku The Malay Archipelago yang berbunyi ‘The land of the orang-utan, and the bird of paradise’ memberi aba-aba kepada pembacanya tentang gambaran keanekaragaman hayati yang luar biasa mengisi setiap sudut Kepulauan Indonesia. Keunikan dan sebaran keanekaragaman hayati yang diamati Wallace di Kepulauan Indonesia menjadi ciri khas biogeografi Indonesia.
Wallace menemukan orang-utan hanya di Indonesia bagian barat, sebaliknya mendapati burung cendrawasih (the bird of paradise) hanya di Indonesia bagian timur. Tidak ada di tempat manapun di dunia ini yang keanekaragaman hayatinya memiliki kekontrasan biogeografi dalam jarak yang sangat sempit, kecuali di Kepulauan Indonesia. Karena Wallace lebih banyak melakukan pengamatan binatang daripada tumbuhan, biogeografi Indonesia yang digambarkannya lebih menonjolkan keanekaragaman binatang atau zoogeografi. Gajah, tapir, kera, beruang madu, banteng, harimau, badak, bekantan, orangutan
adalah contoh binatang yang diketahui menghuni di Pulau Jawa, Pulau Sumatra dan Pulau Kalimantan.
adalah contoh binatang yang diketahui menghuni di Pulau Jawa, Pulau Sumatra dan Pulau Kalimantan.
Sebagian besar diantara jenis binatang itu tersebar di bagian Asia Selatan dan Tenggara. Hewan-hewan tersebut menunjukkan pernah adanya hubungan darat di antara pulau-pulau besar Jawa, Sumatra dan Kalimantan dan dengan Semenanjung Malaka. Seperti dijelaskan Wallace, “setelah kita memeriksa zoologi negeri-negeri ini, kita menemukan bukti bahwa pulaupulau yang besar ini pada suatu masa merupakan bagian dari Benua Asia dan mungkin terpisah pada masa yang belum lama berlalu (at very recent geological epoch). “
Sebaliknya, spesies mamalia dan burung yang hidup dibelahan timur Indonesia (Papua, Kepulauan Aru, Misool dan Waigeo ) memiliki jenis serupa seperti yang di Australia, misalnya: walabi, kanguru pohon, emu, platipus, wombat, kasuari dan cendrawasih. “Adanya perbedaan yang mendasar di Kepulauan Indonesia sehingga saya berkesimpulan bahwa bila sebuah garis ditarik di antara pulau-pulau, kepulauan itu akan terbagi dua, setengah bagian termasuk Asia dan setengah lagi termasuk Australia. Bagian yang pertama disebut Indo-Melayu dan bagian kedua disebut Austro-Melayu,” tulis Wallace dalam buku Menjelajah Nusantara. Pulau Bali – yang hanya berjarak 35 km dari Pulau Lombok -digolongkan sebagai kawasan zoogeografi Asia (Indo-Melayu) karena beberapa spesies burung di Bali tidak dijumpai di Lombok dan sebaliknya.
Sampai di sini urusan penggolongan dua kawasan zoogeografi selesai. Namun Max Carl Wilhelm Webber (1852 – 1937) ahli zoologi Jerman belum bersepakat atas garis demarkasi yang diusulkan Wallace. Weber, berdasarkan hasil Ekspedisi Siboga (1899-1900) berteori bahwa garis pemisah zoogeografi itu bukan melintasi Selat Makassar dan Selat Lombok melainkan lebih ke timur antara Sulawesi dan Maluku dan antara Pulau Timor dan Australia. Ke arah barat dari garis itu ia menghitung ada lebih dari 50% hewan yang mirip dengan hewan Asia, dan di sebelah timur garis memiliki lebih dari 50% hewan Australia. Garis itu dikenal sebagai Garis Weber. Sebelumnya, pada tahun 1895 Richard Lydekker (1849 – 1915) mengusulkan garis pemisah itu lebih ke timur lagi, antara Pulau Halmahera – Pulau Seram dengan Pulau Misool dan Papua; antara Kepulauan Tanimbar -Kepulauan Kai dengan Kepulauan Aru, yang dikenal sebagai Garis Lydekker.
Bukti Lain Sundaland
Para ahli biogeografi masa kini memikirkan tentang kawasan diantara Garis Wallace dan Garis Weber atau Garis Lydekker sebagai zona peralihan yang meliputi Sulawesi, Nusa tenggara dan Maluku. Pada masanya, di kawasan peralihan itu Wallace menemukan burung maleo, anoa, babirusa di Pulau Sulawesi dan komodo dragon di Pulau Komodo. Kawasan transisi ini dikenal juga sebagai Wallacea. Dibandingkan dengan bentangan wilayahnya yang seluas 347.000 km2, Wallacea menjadi rumah bagi spesies endemik paling tinggi di dunia. Sebanyak 1.500 dari 10.000 jenis tumbuhan dan 525 dari 1142 jenis binatang di kawasan Wallacea adalah spesies endemik – yaitu jenis mahluk hidup yang berkembang hanya di suatu kawasan sempit tertentu.
Para ahli biogeografi masa kini memikirkan tentang kawasan diantara Garis Wallace dan Garis Weber atau Garis Lydekker sebagai zona peralihan yang meliputi Sulawesi, Nusa tenggara dan Maluku. Pada masanya, di kawasan peralihan itu Wallace menemukan burung maleo, anoa, babirusa di Pulau Sulawesi dan komodo dragon di Pulau Komodo. Kawasan transisi ini dikenal juga sebagai Wallacea. Dibandingkan dengan bentangan wilayahnya yang seluas 347.000 km2, Wallacea menjadi rumah bagi spesies endemik paling tinggi di dunia. Sebanyak 1.500 dari 10.000 jenis tumbuhan dan 525 dari 1142 jenis binatang di kawasan Wallacea adalah spesies endemik – yaitu jenis mahluk hidup yang berkembang hanya di suatu kawasan sempit tertentu.
Apa yang Wallace ‘ramalkan’ tentang menyatunya pulau-pulau Jawa, Sumatra dan Kalimantan dengan semenanjung Malaka di masa lampau berdasarkan temuan sebaran hewan-hewan di sana – daratan yang bersatu itu kini disebut sebagai Sundaland – menjadi kebenaran ilmu pengetahuan sampai di era modernini. Para ahli kebumian masa kini percaya bahwa zaman es – sebagian besar muka Bumi ditutupi es – yang terakhir pernah terjadi pada zaman Pleistosen Akhir sampai kira-kira 18.000 tahun yang lalu (Voris, 2000). Ketika itu selain muka air laut diantara pulaupulau Jawa, Sumatra, Kalimantan dan semenanjung
Malaka menyusut, lapisan es menutupi seluruh kawasan Sundaland. Lapisan es menjadi jembatan bagi hewan-hewan saling bermigrasi ke antara pulau-pulau itu. Hal serupa terjadi antara benua Australia dengan Pulau Papua dan pulau-pulau kecil di dekatnya – yang disebut sebagai Paparan Sahul.
Malaka menyusut, lapisan es menutupi seluruh kawasan Sundaland. Lapisan es menjadi jembatan bagi hewan-hewan saling bermigrasi ke antara pulau-pulau itu. Hal serupa terjadi antara benua Australia dengan Pulau Papua dan pulau-pulau kecil di dekatnya – yang disebut sebagai Paparan Sahul.
Peta-peta yang menggambarkan paleogeografi zaman Pleistosen memperlihatkan daratan Sunda atau Sundaland (menyatunya pulau-pulau Jawa, Sumatra dan Kalimantan dengan daratan Asia) dan daratan Sahul atau Sahulland ( Pulau Papua dan pulau-pulau di sekitarnya menyatu dengan benua Australia). Salah satu bukti modern adalah ditemukannya 6 spesies baru lalat sungai (Drosophilla) yang penyebarannya hanya dijumpai di hutan-hutan di Jawa, Sumatra, Kalimantan dan Bali (Suwito and Watabe, 2010). Bagaimana lalat sungai yang berukuran 3 mm itu bisa menyebrangi laut di antara pulau-pulau Jawa, Sumatra dan Kalimantan bila tidak ada ‘jembatan’ dan makanan di antara pulaupulau itu.
Komentar
Posting Komentar